money.teknologmuda.com – Bersamaan dengan transisi energi, pengusaha mulai mengubah strategi dan arah bisnis mereka untuk mencapai tujuan nol emisi bersih atau produk sampingan nol bahan bakar fosil pada tahun 2060.
Berbagai pelaku usaha lintas sektor berkomitmen untuk mengubah perilaku bisnis dalam mendukung transisi energi di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mendukung tujuan otoritas publik mencapai nol produk sampingan bahan bakar fosil pada tahun 2060.
Head of Corporate Strategy PT TBS Energi Utama Nafi Achmad Sentausa memperkirakan pasokan batu bara sebanyak 14 juta ton akan habis dalam lima tahun ke depan. Oleh karena itu, transformasi diharapkan dapat terus memperpanjang umur industri ketenagalistrikan dengan memajukan pembangkit listrik baru dan ramah lingkungan (EBT) secara berkesinambungan.
“Terus mengurangi penggunaan batu bara sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik. Bahkan pada 2030, TBS memiliki tujuan karbon yang tidak bias dengan 80% keuntungan didistribusikan untuk kemajuan bisnis hijau,” katanya di DBS Asian Insight Conference, kerjasama antara DBS dan Katadata Indonesia, Selasa (22/3).
Nafi menyadari perlu investasi untuk mengubah ketergantungan dari penggunaan energi fosil ke energi berkelanjutan. Sementara itu, TBS Energi Utama kini berencana melakukan transisi energi pada 2024. “Untuk melakukan perubahan dari energi fosil ke energi berkelanjutan diperkirakan menelan biaya US$ 500 juta,” lanjutnya.
Berbagai langkah telah dilakukan TBS Energi Utama untuk mengantisipasi potensi keluarnya tenaga kerja PLTU tersebut, seperti membangun pembangkit listrik ramah lingkungan di berbagai daerah. Salah satunya adalah pembangkit listrik tenaga air skala kecil di kawasan Sumber Jaya, Lampung, dengan kapasitas 6 megawatt (MW).
“Selain itu, ada pembangkit listrik tenaga angin 22 MW, sinar matahari, dan biomassa, waste to energy yang mengubah sampah menjadi energi,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Partnership for Sustainable Agriculture in Indonesia (Pisagro), Insan Syafaat. Dia mengatakan, transisi energi sudah dimulai sejak 2011. Sekitar 24 perusahaan yang tergabung saat ini sedang memupuk gagasan ketahanan pangan untuk mewujudkan pangan berkelanjutan.
Pekerjaan ini dilakukan dengan membuat ekosistem kemitraan yang tertutup. Model kemitraan ini berfokus pada rantai pasok petani dan peternak yang terhubung langsung dengan komoditas tertentu.
“Ada 11 Pokja yang langsung berhubungan dengan komoditas tertentu, seperti produk pangan, tanaman pangan, kelapa sawit, dan lain-lain,” kata Insan.
Selain itu, ujian terbesar yang dialami dalam upaya transisi energi adalah menyusun ekosistem bisnis yang inklusif. Semua pelaku yang berperan dalam usaha peternakan, peternakan, dan pedesaan diharapkan dapat saling memfasilitasi dan memberikan solusi atas permasalahan yang dialami oleh pelaku usaha.
“Ujian terbesar dari berbagai komoditas sulit dilacak pelakunya. Ada beberapa akses yang harus diberikan agar sektor agraria misalnya bisa dihadirkan, akses pupuk dan benih serta bagaimana produknya diserap. , dan akses dana sebagai cara untuk membantu agribisnis agar berkelanjutan,” lanjut Insan.
Individu juga percaya bahwa, dengan tujuan akhir transisi ke energi, Pemerintah dapat memberikan ‘pendekatan hijau’ dengan tanda dan standar pelaksanaan yang jelas. “Jadi jangan sampai pedoman atau standar itu sulit dijalankan, misalnya di nomor berapa, otoritas publik meminta nomor berapa,” percaya Insan.
Sementara itu, Ketua Komisi Tetap Energi Baru dan Terbarukan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Muhammad Yurizki mengatakan, dunia usaha telah membuat Gerakan Net Zero Emission (carbon imparsial) untuk mendukung masyarakat. upaya otoritas dalam proyek transisi energi.
“Diskusi ini sudah proaktif terjadi di sektor swasta, persoalannya bagaimana diskusi ini menjadi komitmen dan kegiatan yang sungguh-sungguh,” kata Yurizki.
Ia berharap nantinya para pelaku usaha tidak hanya menjamin atau menandai diri sebagai perusahaan yang mendukung transisi energi tanpa melakukan langkah yang sungguh-sungguh. Kadin berencana membuat modul untuk menyusun ekosistem persiapan, moneter, dan pengawasan dalam melaksanakan transisi energi di bisnis swasta.
“Jadi jangan bilang proyek netralitas karbon ini bukan ujian atau hambatan, tapi bisa juga menjadi peluang bisnis lain,” Yurizki memaklumi.
Yurizki mencontohkan, salah satu peluang bisnis baru dalam pemanfaatan listrik ramah lingkungan adalah PLTS Atap. Menurutnya, peningkatan EBT bisa menjadi investasi yang ditarik jika dilihat dari pola pikir investasi.
“Ini sebenarnya peluang investasi yang nilainya cukup besar untuk kemajuan industri net zero emission. Jadi investasi yang berlarut-larut,” imbuhnya.
Diindikasikan olehnya, pola pikir dan kesadaran konstruksi akan pentingnya pemanfaatan EBT dan peningkatan investasi perlu ditumbuhkan. Ia mencontohkan, alasan perhitungan pembuatnya yang selalu mengaitkan konsumsi listrik (kwh) dari hasil EBT dengan berapa banyak produksi barang akan menjadi salah satu tantangan yang harus diselesaikan.
“Berapa banyak listrik dari EBT yang harus dikeluarkan untuk membuat satu item. Jika angkanya seperti itu, Anda akan menginvestasikan kepentingan bisnis di atas energi ini,” katanya.